ansorguntur.org/(25/5/2024). Internet menjadi salah satu aspek teknologi yang berpengaruh ke banyak hal, tak terkecuali marketing. Marketing atau pemasaran pun kian canggih lantaran terbantu dengan perkembangan teknologi dan konektivitas. Makin terhubungnya manusia melalui teknologi dan konektivitas, membuka pintu bagi pemasaran untuk lebih efektif. Metode ini pun kini makin digencarkan guna meningkatkan performa bisnis merek. Dengan banyaknya sahabat-Sahabat Ansor Banser Yang bergerak di Bidang Usaha baik Jasa atau Produksi, Dari dasar itu PAC GP ANSOR Kecamatan Guntur Bekerja Sama dengan PT Hajinesia Mitra Madinah ( Hajinesia.id ) dan Kazamistore memberikan kesempatan kepada para Sahabag Sahabat Ansor Banser Untuk Belajar Lebih tentang Internet Marketing dan Juga Cara Berjualan di Shopee yang di laksanakan di RM Sukoroso Desa Sukorejo Kecamatan Guntur. " Jika ada kemauan, tidak menutup kemungkinan hal-hal yang awalnya di anggap tidak berarti bisa menjadi Peluang Besar di masa
foto potong tumpeng setelah penetapan perda hiburan |
Polemik tahunan kembali beredar di detik-detik menuju pergantian tahun baru 2019 Masehi. Muara polemik adalah fatwa hukum yang simpang-siur antara kubu yang mengharamkan dengan yang membolehkan peringatan tahun baru Masehi. Sebagai pertimbangan sebelum memilih fatwa hukum, perlu diurai tiga 'benang kusut' yang tampaknya menjadi penyebab pro-kontra fatwa.
Benang kusut pertama
adalah asosiasi kata 'Masehi' dengan Yesus, sehingga tahun Masehi
dipandang sebagai tahun Kristen. Apalagi didukung bukti historis bahwa
kelahiran Yesus dijadikan landasan penetapan tahun 1 Masehi, yang
pertama kali dirayakan pada 1 Januari 45 SM. Asosiasi ini identik dengan
asosiasi pohon cemara sebagai pohon natal.
Implikasinya,
ketika asosiasi Yesus melekat pada kata 'Masehi', maka fatwa hukum yang
dikeluarkan adalah haram merayakan tahun baru Masehi, karena dinilai tasyabbuh (menyerupai) agama lain.
Sebaliknya,
jika asosiasi tersebut dihilangkan sebagaimana kasus pohon cemara
bukanlah pohon natal, meskipun digunakan sebagai pohon natal, maka fatwa
hukum yang dikeluarkan adalah boleh merayakan tahun baru Masehi.
Persoalannya sederhana, perhitungan tahun hanya ada dua model. Pertama, Kalender Matahari yang didasarkan peredaran bumi mengelilingi matahari (revolusi bumi). Kedua,
Kalender Bulan yang didasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi
(revolusi bulan). Kalender Matahari dianut Tahun Masehi, sedangkan
Kalender Bulan dianut Tahun Hijriah.
Namun,
Kalender Matahari dan Bulan tidak bisa diklaim sebagai 'milik pribadi'
suatu agama, entah Kristen maupun Islam. Keduanya adalah Kalender 'milik
bersama', karena digunakan sebagai standar penanggalan di seluruh
dunia, seperti Penanggalan Tionghoa dan Saka.
Secara
implisit, Surat Yunus [10]: 5 membenarkan dua model Kalender di atas.
Ayat lain yang mendukung adalah Surat al-Kahfi [18]: 25 tentang kisah
Ashhabul Kahfi yang tertidur selama 300 tahun menurut Kalender Matahari,
atau 309 tahun menurut Kalender Bulan; karena selisih antara Kalender
Matahari dengan Kalender Bulan adalah 9 tahun untuk setiap 300 tahun.
Ringkasnya,
penyematan kata 'Masehi' pada Kalender Matahari, bukan berarti tahun
Masehi sama dengan tahun Kristen, sehingga tidak secara otomatis
membuatnya dihukumi haram, hanya gara-gara didasarkan penamaan
non-Islami. Seandainya penggagasnya dulu adalah Muslim, tentu Kalender
Matahari tidak akan disebut Tahun Masehi, bisa jadi Tahun Aljabar.
Benang
kusut kedua, pola pikir idealis versus realistis. Pola berpikir idealis
mengandaikan kehidupan khayali di tengah kehidupan realistis. Pola
pikir idealis menuntut umat manusia sebersih malaikat. Implikasinya,
pola pikir idealis tidak mau menerima kenyataan berupa dilema antara dua
hal negatif. Misalnya, jika ada pasien yang harus memilih antara
amputasi ataukah penyakitnya menjalar ke seluruh tubuh, maka pola pikir
idealis akan menuntut dokter agar menyembuhkan penyakit tersebut tanpa
amputasi.
Sama halnya ketika melihat fenomena
perayaan tahun baru yang hampir tidak bisa dibendung, maka pola pikir
idealis akan mengeluarkan fatwa haram terhadap aktivitas apa pun yang
menyangkut tahun baru Masehi, sekalipun berupa aktivitas dzikir dan doa
bersama. Alasannya jelas, tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW,
sehingga dinilai bid’ah dhalalah atau inovasi agama yang tersesat.
Sebaliknya,
pola pikir realistis berusaha menemukan alternatif terbaik di antara
kondisi yang serba negatif. Apakah membiarkan umat Islam merayakan tahun
baru Masehi di tempat-tempat umum yang berpotensi terjadi kemaksiatan,
setidaknya berupa ikhtilath
(percampuran lawan jenis non-mahram), ataukah menyediakan
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, seperti dzikir dan doa bersama di
masjid, mushalla atau sekolah?
Tentu
alternatif kedua lebih baik daripada alternatif pertama. Oleh sebab itu,
fatwa yang berasal dari pola pikir realistis adalah membolehkan
peringatan tahun baru Masehi, asalkan tidak diisi kemaksiatan. Misalnya,
pendapat Abu al-Hasan al-Maqdisi yang dikutip dalam al-Hawi karya Imam
al-Suyuthi.
Tampaknya, pola pikir realistis
lebih relevan dengan redaksi yang digunakan oleh Rasulullah SAW dalam
menyikapi kemunkaran, yaitu “fal-yughayyirhu” yang berarti “maka
ubahlah.” Artinya, penanganan kemungkaran tidak melulu melalui prosedur
larangan (nahi munkar); dapat juga melalui prosedur perubahan (transformasi). Inilah
yang diteladankan Walisongo ketika mengubah cerita wayang yang biasanya
didasarkan epos Ramayana dan Mahabarata yang bersifat politeisme,
menjadi kisah-kisah Islami yang bersifat monoteisme (tauhid), seperti
Kalimasada.
Jadi, daripada melarang Muslim
merayakan tahun baru Masehi, namun realitanya pasti banyak yang ikut
merayakannya; lebih baik menyediakan kegiatan-kegiatan yang terpuji di
malam tahun baru Masehi, seperti mengadakan dzikir dan doa bersama.
Benang
kusut ketiga adalah pemberlakuan hukum itu bersifat kaku ataukah luwes?
Bagi ulama yang memandang bahwa hukum harus diberlakukan secara kaku,
tanpa memedulikan situasi dan kondisi, maka hanya ada satu hukum untuk
satu kasus. Misalnya, hanya ada satu hukum terkait ucapan Selamat Natal
dan Tahun Baru, yaitu haram tanpa terkecuali.
Sebaliknya,
bagi ulama yang memandang bahwa hukum harus diberlakukan secara luwes,
sesuai situasi dan kondisi, maka banyak hukum untuk satu kasus.
Misalnya, banyak hukum terkait ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru. Bagi
pihak yang berkepentingan, seperti pejabat yang mengayomi warga
non-Muslim, maka hukum mengucapkannya adalah boleh (mubah). Demikian
halnya seorang Muslim boleh mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru
kepada tetangganya yang beragama Kristen, semata-mata demi memperkuat
hubungan harmonis antartetangga. Contoh ulama yang membolehkan adalah
Yusuf al-Qaradhawi, Musthafa al-Zarqa, Ali Jumah dan Quraish Shihab.
Penulis adalah Pengurus LTN PBNU Kabupaten Malang, Jawa Timur
Penulis adalah Pengurus LTN PBNU Kabupaten Malang, Jawa Timur
Komentar
Posting Komentar